PATUNG BUDHA
Temanku, Kuncung adalah
seorang pemandu wisata. Suatu hari ia mengantarkan wisatawan Jepang ke Candi
Borobudur. Salah satu wisatawan itu bernama Tomoyoshi Mitsumoto. Kuncung
menceritakan sejarah dan asal-muasal Candi Borobudur. Tapi kelihatannya Mitsumoto
belum puas. Lalu Kuncung mencari akal
untuk memuaskan tamunya. Ia menambahkan tentang keajaiban Patung Budha di Candi
Borobudur. Begini ceritanya,
”Tuan Mitsumoto,
perlu diketahui bahwa Patung Budha di sini berbeda dengan patung budha di
negara Anda. “
“Ah masak? “ kata
Mitsumoto dengan penuh selidik.
“Benar Tuan. Patung
Budha di sini akan berdiri dan menari-nari jika mendengar bunyi genderang.”
Kata Kuncung
“Oh..ya? Menarik
sekali”, kata Mitsumoto.
Kali ini perasaan Kuncung
lega, tamunya mulai tertarik.
Tak berapa lama
terlihat dari kejauhan latihan drum band dari SMA Negeri Mungkid melintas di
jalan dekat Candi Borobudur dan bunyi genderangnya terdengar dari atas candi.
Mitsumoto berseri-seri karena ia akan melihat keajaiban Patung Budha Candi
Borobudur. Tapi ternyata setelah drum band itu lewat tidak terjadi apa-apa
dengan Patung Budha itu. Mitsumoto pun komplain terhadap Kuncung. Dengan tenang
Kuncung menjawab,”Coba Tuan perhatikan Patung Budha itu! Terbuat dari apakah
ia, bukankan terbuat dari batu? Apakah batu bisa mendengar?” Mitsumoto pun
geleng-geleng kepala sambil mengumpat,”Semprul..tenan kowe!” (tentunya dalam
Bahasa Jepang).
BINTANG FILM
Ketika wisatawan mampir
ke toko souvenir WALET Jalan Magelang, Kuncung mengobrol dengan driver bus
wisata yang bernama Pono.
“Sebelum jadi
pemandu wisata, aku sempat jadi bintang film lho Mas Pono,” kata Kuncung pada teman kerjanya
itu.
“Terus siapa lawan
mainnya?,” tanya Pono serius.
“Sendiri....,” jawab
Kuncung
“Lho kok
sendiri..... terus shooting nya di mana?,” tanya Pono lagi.
“Di sungai...,”
jawab Kuncung
“Lho kok di sungai?.........
emang judul filmnya apa sih?,” tanya Pono mulai curiga.
“Biarkan si kuning
berlalu...,” jawab Kuncung kalem.
“Asemki .... ,”kata
Pono sambil bersungut-sungut
SUNGAI CODE
Pada sore harinya
wisatawan kembali ke Jogja menuju hotel. Ketika memasuki jembatan Sungai Code,
bis wisata berjalan perlahan-lahan. Dengan menggunakan mikropon, Kuncung
memberikan penjelasan kepada para wisatawan, ”Tuan-tuan dan nyonya-nyonya kita
sedang melewati jembatan Sungai Code. Pemerintah Kota Jogja sedang berusaha
mendaftarkan sungai ini di Guiness Book of Record.”
Kembali Tuan
Mitsumoto terkejut, ”Oh My God! Apakah record yang telah dicapai sungai ini
sehingga perlu didaftarkan ke Guiness Book of Record?”
“Begini Tuan, coba
Anda perhatikan di sebelah kanan dan kiri jembatan, banyak warga sekitar yang
memanfaatkan sungai ini. Ada yang mencuci, ada yang mandi, bahkan ada yang ...
maaf.... buang air besar. Di hulu dan di muara sungai pun lebih banyak lagi
yang melakukan aktivitas tersebut. Maka Pemerintah Kota Jogja akan mengajukan
ke Guiness Book of Record untuk mencatat sungai ini sebagai toilet terpanjang
didunia,” kata Kuncung percaya diri.
Kali ini Tuan
Mitsumoto mengangguk-angguk tanda setuju.
BURUNG JATAYU
Pada malam hari
berikutnya rombongan wisatawan bekunjung ke Candi Prambanan untuk menyaksikan
Sendratari Ramayana. Kali ini episode yang ditampilkan adalah “The Kidnapping
of Dewi Shinta”. Para penonton sangat terpukau ketika adegan penculikan Dewi
Shinta oleh Rahwana. Terjadi pertempuran sengit antara Rahwana dengan Burung
Jatayu yang mencoba mempertahankan Dewi Shinta. Namun, akhirnya Jatayu kalah
dan Rahwana berhasil membawa pergi Dewi Shinta. Adegan ditutup dengan hadirnya
Prabu Rama dan Laksmana menolong Jatayu.
Setelah pertunjukkan
berakhir, Kuncung mendekati Tuan Mitsumoto, sambil memberikan penjelasan,
“Tuan sangat
beruntung. Episode ini merupakan episode yang spesial.”
“Oh... ya saya lihat
itu.... burungnya hebat sekali... mirip burung betulan... bagaiman bisa ya?”
tanya Mitsumoto.
“Ya... jelas, Tuan.
Soalnya untuk membuat adegan ini diperlukan biaya yang lebih besar dari adegan
yang lain. Sebelum adegan ini dimulai harus dilakukan penyembelihan 100 ekor
ayam putih mulus,” kata Kuncung.
“Jadi perlu ritual
khusus? Semacam untuk sesaji begitu?” tanya Mitsumoto.
“Ya... nggak begitu
juga. Soalnya ayam-ayam itu disembelih untuk diambil bulunya... kemudian
bulu-bulu itu dipakai untuk membuat kostum Burung Jatayu... begitu, Tuan!!!” jawab
Kuncung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar